Karena mengungkapkan rindu bukan
bagian terpenting untuk seorang remaja yang merindukan seorang yang tak pantas
dirindukan, namun bagaimana jika yang kuridukan adalah diriku sendiri? Ana ahwa
man ahwa ana. Hei! Apa maksud perkataanmu ini?
Apakah kerinduan itu seperti
mahatari yang merindukan bulan, atau sebaliknya? Aku merindukan diriku. Namun
hal sebenarnya yang kurindukan itu adalah diri yang selalu mengingat Allah. Aku
ingin terus seperti itu, senantiasa didekatNya. Mengungkapkan rasa cinta dibawah
sajadah dan setiap waktu meski dalam keterbatasan sebagai seorang manusia
bergelimang dosa dan kelalaian.
“Sarah!”
Teriak seseorang menghentikan coretanku.
“You
must see it...” ia bentangkan sepucuk surat ke wajahku and its for me.
Cerita
macam apa ini? Aku belum siap.
“Tenang
okay, ini hanya surat pemberitahuan dan...”
“Dan
ungkapan secara tidak langsung seorang ikhwan yang pada dasarnya belum siap.”
Aku potong ucapannya dengan maksud memperjelas mengingat surat pertama kemarin.
Gadis
itu bergumam, tak sepatasnya aku memotong ucapannya.
“Afwan.
Jangan kamu yang baper, ini hanya surat yang masih penuh tanya. Dan apakah
pantas seorang yang bukan mahramnya begitu saja mengucap kerinduan? Kalimat
manis sebelum halal itu gak penting. Karena pasti syetan bahagia kepalang.”
“Baca
dulu.” Ia berubah ekpresi datar.
Karena
ada rasa penasaran, akhirnya kubuka surat yang entah dari lelaki muda seperti
apa.
Aku
tak meneruskan membaca. Sungguh manusia di dalam kerugian.
“Katakan
padanya, aku juga rindu.”
Gadis
itu keheranan.
“Aku
merindukan diriku sendiri.”
“Bagaimana
dengan surat ini?”
“Ambil
saja. Kau sebentar lagi ada kelas, bukan?”
Ia
mengangguk paham dengan situasiku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumus
salam warahmatullah.”
Selesai...
inifiksi...
jangan baper ya..
doain bisa lanjut yg cerita bener2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar