Jumat, 02 Desember 2016

cerpen singkat



            Karena mengungkapkan rindu bukan bagian terpenting untuk seorang remaja yang merindukan seorang yang tak pantas dirindukan, namun bagaimana jika yang kuridukan adalah diriku sendiri? Ana ahwa man ahwa ana. Hei! Apa maksud perkataanmu ini?
            Apakah kerinduan itu seperti mahatari yang merindukan bulan, atau sebaliknya? Aku merindukan diriku. Namun hal sebenarnya yang kurindukan itu adalah diri yang selalu mengingat Allah. Aku ingin terus seperti itu, senantiasa didekatNya. Mengungkapkan rasa cinta dibawah sajadah dan setiap waktu meski dalam keterbatasan sebagai seorang manusia bergelimang dosa dan kelalaian.
“Sarah!” Teriak seseorang menghentikan coretanku.
“You must see it...” ia bentangkan sepucuk surat ke wajahku and its for me.
Cerita macam apa ini? Aku belum siap.
“Tenang okay, ini hanya surat pemberitahuan dan...”
“Dan ungkapan secara tidak langsung seorang ikhwan yang pada dasarnya belum siap.” Aku potong ucapannya dengan maksud memperjelas mengingat surat pertama kemarin.
Gadis itu bergumam, tak sepatasnya aku memotong ucapannya.
“Afwan. Jangan kamu yang baper, ini hanya surat yang masih penuh tanya. Dan apakah pantas seorang yang bukan mahramnya begitu saja mengucap kerinduan? Kalimat manis sebelum halal itu gak penting. Karena pasti syetan bahagia kepalang.”
“Baca dulu.” Ia berubah ekpresi datar.
Karena ada rasa penasaran, akhirnya kubuka surat yang entah dari lelaki muda seperti apa.
Aku tak meneruskan membaca. Sungguh manusia di dalam kerugian.
“Katakan padanya, aku juga rindu.”
Gadis itu keheranan.
“Aku merindukan diriku sendiri.”
“Bagaimana dengan surat ini?”
“Ambil saja. Kau sebentar lagi ada kelas, bukan?”
Ia mengangguk paham dengan situasiku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumus salam warahmatullah.”
Selesai...

inifiksi...
jangan baper ya..
doain bisa lanjut yg cerita bener2